Tiga Menit, Toboli-Sausu Gelap 100 Persen
PARIGI MOUTONG– Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) memastikan Fenomena alam Gerhana Matahari Total (GMT) diperkirakan akan terjadi di Indonesia pada 9 Maret 2016 termasuk dibeberapa wilayah Provinsi Sulawesi Tengah.
Selain Kabupaten Luwuk, Poso, Sigi dan Kota Palu, Kabupaten Parigi Moutong menjadi salah satu tempat untuk menyaksikan GMT.
Bupati Parigi Moutong, Samsurizal Tombolotutu mengatakan, di wilayahnya terhitung dari Kecamatan Sausu sampai Kecamatan Ampibabo, masyarakat bisa memonitor GMT.
“Kegelapan 100 persen itu hanya tiga menit dari Toboli sampai Sausu,” kata Samsurizal Tombolotutu.
Menurut Samsurizal, Pemerintah daerah Parigi Moutong sudah menyiapkan diri untuk menyambut fenomena alam tersebut.
Dirinya sudah membuka akses untuk persiapan GMT ini sejak 2012 dengan menandatangani kesepakatan kerjasama (MoU) dengan delapan organisasi antariksa.
Bahkan menurut dia, dari seluruh wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah, hanya Kabupaten Parigi Moutong yang terdaftar di Lembaga Pengembangan Antariksa Nasional (Lapan) untuk menyaksikan peristiwa langka itu.
Selain Kabupaten Parigi Moutong, ada empat wilayah di Indonesia yang juga terdaftar di Lapan, yaitu Kota Palembang, Palangkaraya, Kota Tarnate dan Maluku Utara.
Lokasi Sail Tomini Jadi Pusat Wisata
Lokasi Sail Tomini di Desa Kayubura, Kecamatan Parigi Tengah Kabupaten Parigi Moutong menjadi salah satu pusat wisata GMT pada 9 Maret 2016.
Bupati Samsurizal Tombolotutu mengatakan, di lokasi itu masyarakat dapat menikmati gerhana matahari total sekitar tiga menit. Gerhana matahari total di Kabupaten Parigi Moutong dapat disaksikan di beberapa wilayah.
Menurut Samsurizal, pada saat gerhana matahari total, lokasi Sail Tomini akan dipadati ribuan pengunjung dari berbagai daerah karena bertepatan dengan kegiatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat provinsi yang digelar di lokasi yang sama.
“Lokasi Sail Tomini akan dikunjungi lebih dari 1.000 pengunjung karena bertepatan dengan MTQ,” kata Samsurizal.
Ia mengungkapkan, MTQ tersebut sengaja diatur waktunya bersamaan dengan gerhana matahari total sehingga seluruh perwakilan daerah di Provinsi Sulawesi Tengah bisa menyaksikan dua momen tersebut.
Digelar Sholat Gerhana dan Tabligh Akbar
Rencananya, pada saat GMT pukul 07.00 wita itu, akan dilakukan shalat gerhana dan tabliq akbar di lokasi Sail Toini. Bahkan, Kepala Lapan, Thomas Djamaluddin telah menyatakan kesediaannya untuk hadir dan menjadi khotib pada saat shalat gerhana.
salah seorang panitia GMT , Fakhrudin, mengatakan, pada Tanggal 7 Maret 2016, Kepala Lapan sudah berada di Kota Palu dan 8 Maret menuju Parigi Moutong.
“Kepala Lapan menginap semalam di Palu, tanggal 8 Maret menuju ke Parigi Moutong,” ujar Fakrudin yang sudah mengkomunikasikan hal itu kepada Kepala Lapan di Jakarta.
fakhrudin menuturkan, rombongan Lapan yang akan ke Parigi Moutong kurang lebih 10 orang. Selama di Kabupaten Parigi Moutong, tim Lapan ini akan melakukan kegiatan edukasi dan riset kepada sejumlah guru dan kepala sekolah. Sholat Gerhana Matahari rencananya juga digelar di atas kapal perang milik TNI AL.
Gerhana Matahari terjadi ketika posisi bulan terletak di antara Bumi dan Matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh cahaya Matahari. Walaupun Bulan lebih kecil, bayangan Bulan mampu melindungi cahaya Matahari sepenuhnya karena Bulan yang berjarak rata-rata jarak 384.400 kilometer dari Bumi lebih dekat dibandingkan Matahari yang mempunyai jarak rata-rata 149.680.000 kilometer.
Gerhana Matahari total terjadi apabila saat puncak gerhana, piringan Matahari ditutup sepenuhnya oleh piringan Bulan. Saat itu, piringan Bulan sama besar atau lebih besar dari piringan Matahari. Ukuran piringan Matahari dan piringan Bulan sendiri berubah-ubah tergantung pada masing-masing jarak Bumi-Bulan dan Bumi-Matahari. (Sumber : Wikipedia)
Fakta menarik lain terkait gerhana matahari total juga diungkapkan Kepala Lapan, Thomas Jamaludin. Pertama, hanya terjadi di Indonesia. Gerhana matahari yang akan terjadi pada 9 Maret 2016 menjadi istimewa bagi masyarakat Indonesia.
“Istimewa karena hanya Indonesia yang dilalui gerhana matahari tersebut. Wilayah lainnya adalah di Samudra Pasifik,” kata Thomas Djamaluddin kepada Liputan6.com.
Kala itu, bayangan Bulan meliputi area seluas 100-150 km, hanya di 11 provinsi. Wilayah Indonesia lainnya akan mengalami gerhana sebagian.
Penduduk di 11 provinsi berpeluang melihat matahari yang gelap gulita. Apalagi kejadiannya pada pagi hari, ketika potensi mendung berkurang.
Warga di wilayah Indonesia barat bisa menyaksikan fenomena tersebut pada pukul 07.30 WIB, sementara di wilayah tengah Nusantara pada pukul 08.35 Wita, dan wilayah timur pada pukul 09.50 WIT.
“Suasana saat itu mirip malam hari, tapi tidak terlalu gelap. Mirip senja, jelang malam. Ini adalah pengalaman yang mungkin sekali seumur hidup,” tutur Kepala Lapan.
Fakta Kedua, yang pertama di RI pada Abad ke-21. Peristiwa gerhana matahari total bukan kali pertamanya terjadi di Indonesia. Fenomena itu pernah ada pada tahun 1983, 1988, dan 1995.
Namun, Thomas Djamaluddin mengatakan, gerhana matahari total 2016 adalah yang pertama terjadi pada Abad ke-21 di Indonesia.
Gerhana matahari berikutnya akan terjadi di Indonesia pada 2019 — yakni gerhana matahari cincin.
Sementara, gerhana matahari total berikutnya baru melintas di wilayah Nusantara pada 20 April 2023.
Fakta Ketiga, terjadi 300 Tahun Sekali. Gerhana matahari total adalah peristiwa langka. Tak diketahui periode pasti fenomena tersebut akan terjadi dan berulang di satu daerah.
Hanya ada hitungan pola 18-19 tahun, sesuai dengan periode Saros atau siklus gerhana. Namun, jalurnya berbeda.
“Berdasarkan perhitungan kasar, gerhana matahari total hanya akan terjadi sekitar 300 tahun sekali di satu daerah,” kata Thomas Djamaluddin.
Wilayah Sumatera Selatan dan Bangka termasuk yang sungguh beruntung.
“Kejadian terakhir pada 1988 dan berulang pada 2016, jadi hanya 28 tahun. Masih beruntung. Di daerah lain 300 tahun.”
Fakta keempat yaitu menguji teori Einstein. Gerhana matahari total yang akan terjadi di Indonesia pada 9 Maret 2016 juga menjadi perhatian ilmuwan dunia. Thomas Djamaluddin mengatakan, para ilmuwan Lapan akan berkolaborasi dengan para ahli asing, termasuk dari Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Menurut Thomas, fenomena gerhana matahari total adalah kesempatan bagi para peneliti untuk melakukan sejumlah riset: terkait fisika matahari maupun fisika umum. Pun kajian dampak dan keantariksaan.
“Juga sering dijadikan pembuktian teori relativitas Einstein. Bahwa suatu benda bisa membelokkan cahaya,” tambah dia.
Jadi, ketika gerhana matahari, saat sang surya ditutup, bintang-bintang di sekitar matahari sedikit bergeser.
Saat gerhana matahari total, menurut Thomas, perubahan perilaku hewan juga diperkirakan akan terjadi, terutama pada binatang malam.
“Walau hanya beberapa menit saat gerhana matahari total terjadi, kondisi tiba-tiba gelap seolah malam akan membuat hewan terutama binatang malam bereaksi. Akan terjadi perubahan perilaku, nah itu juga menjadi penelitian,” beber sang kepala Lapan.
Fakta kelima, ‘Pembodohan Massal’. Peristiwa gerhana matahari total yang paling menghebohkan adalah pada 11 Juni 1983 yang jalur totalitasnya melintasi Jawa.
Fenomena tersebut bahkan disiarkan langsung di TVRI — stasiun televisi satu-satunya di Indonesia kala itu.
Pada masa itu, dalam masyarakat banyak beredar kabar bohong. “Atau semacam pembodohan massal, dengan mengatakan, ‘awas, hati-hati gerhana bisa membutakan mata’,” kata Thomas.
Bahkan, dia menambahkan, ada yang bertindak ekstrem sampai-sampai seluruh jendela ditutup. “Seakan matahari memancarkan radiasi berbahaya,” kata dia.
Tak hanya di situ, di suatu daerah, mata hewan-hewan penghuni kebun binatang ditutup, agar mereka tak buta.
Untuk itulah, Lapan meluncurkan hitung mundur 55 hari jelang gerhana matahari total pada 14 Januari 2015.
“Tujuannya, untuk sosialisasi bahwa gerhana adalah peristiwa yang menarik dan aman dilihat.”
Fakta keenam, bukan fenomena berbahaya. Thomas Djamaluddin menegaskan, gerhana matahari total adalah fenomena yang luar biasa. Bukan peristiwa penuh marabahaya.
“Padahal Matahari sama seperti yang kita lihat kok. Yang membahayakan itu, kalau kita tidak berhati-hati melihatnya,” kata dia.
Alumni Kyoto University tersebut menambahkan, pada saat gerhana sebagian, secara refleks mata sudah merasa silau.
“Maka jangan dipaksakan atau berlomba melihat matahari secara langsung. Itu sangat berbahaya.”
Pada saat gerhana total, tambah Thomas, justru paling bagus melihat langsung. Tanpa kaca mata, tak perlu pakai filter.
“Asal berhati-hati. Yang paling riskan adalah peralihan fase total ke fase sebagian, saat Bulan mulai bergeser, cahaya matahari yang walau baru muncul sedikit sudah sangat kuat. Padahal, pupil mata kita sedang membesar,” jelas dia. Hal itu bisa merusak retina. (sumber : Liputan 6.com)***