PARIGI MOUTONG – Kinerja Richard Arnaldo Djanggola selaku Penjabat (Pj) Bupati Parigi Moutong, kembali menuai sorotan. Sebelumnya, kinerja Richard dianggap perlu dievaluasi Gubernur karena memiliki keterkaitan emosional dengan sejumlah politisi yang akan terlibat, dalam agenda politik di daerah setempat sehingga perlu diganti. Kini, kinerja Richard dari aspek pemerintahan dan kemasyarakatan dianggap biasa-biasa saja karena lebih banyak melakukan kegiatan seremonial dan rapat-rapat. Richard yang menjabat Pj. Bupati sejak Oktober 2023, dianggap belum melakukan kegiatan yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat.
“Kalau saya lihat, kinerja Pj Bupati, masih seperti yang lalu. Hanya evaluasi, pembukaan (acara) rapat-rapat, belum ada yang menyentuh sampai ke masyarakat. Kalau ada, tunjukan ke saya,” ujar Sekretaris Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Parigi Moutong, Arif Alkatiri, kepada sejumlah awak media, Selasa (11/06).
Bicara soal capaian kinerja PJ Bupati, lanjutnya, tidak perlu dengan hal-hal yang luar biasa, seperti penghargaan Adipura.
Sebab, penumpukan masalah sampah di dalam hingga di luar Pasar Sentral Parigi belum terselesaikan.
Belum lagi, masalah pemanfaatan Pasar Sentral Parigi yang hingga kini, masih menjadi utang Pemerintah Daerah (Pemda) Parigi Moutong di Bank Dunia.
“Bicara satu masalah saja, Pasar Sentral Parigi. Itu sudah luar biasa,” imbuhnya.
Kondisi Pasar Inpres Parigi saat ini, sepi dan pedagang memilih berjualan di luar hingga menyebabkan banyaknya bangunan yang tidak terisi.
Sementara di kawasan lain, menurut Arif, masih terdapat pedagang berjualan di pinggir-pinggir jalan.
Kemudian dari sisi ekonomi, pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tumbuh sendiri, tanpa bantuan pemerintah.
“Mereka tumbuh sendiri, karena persoalan ekonomi sulit. Saya contohkan, kontainer akal-akal di pinggir jalan terus tumbuh. Tidak dibantu, apa yang bisa mereka bikin, apa saja dijual,”.
Bahkan, pada akhir pekan, omset pendapatan anjlok, karena banyak orang yang memilih ke Kota Palu.
Ia pun menyoroti, soal adanya refocusing dan defisit anggaran, yang dinilainya tidak mendasar.
“Defisit tidak begitu. Misalnya begini, saya punya uang Rp 100 juta, dituangkan dalam bentuk program yang nilainya sama. Ada uangnya, sekarang apa alasan defisit itu?,” terangnya.
Arif Alkatiri menduga, ada program-program yang dilebihkan atau terjadi kesalahan penghitungan anggaran. *WANS